Senin, 21 Juni 2010

10 Tahun Berjuang Lewat Majelis Taklim

Hj Asnah, Anggota DPRD Kepri
Anggota DPRD Kepri Hj Asnah, siap bersaing di Pemilihan Wali Kota (Pilwako) Batam Janauari 2011. Seperti apa kesiapannya?


Ditemui di rumahnya Bengkong Sadai, Minggu (20/6) sekitar pukul 10.00 WIB, Hj Asnah baru saja selesai beres-beres di rumah ditemani pembantunya. Meski ia sibuk dengan aktivitasnya sebagai anggota DPRD Provinsi Kepri, namun tetap menyempatkan diri berkemas-kemas di rumah.

Rumahnya di Bengkong Sadai, hanya berjarak puluhan meter dari Kantor Camat Bengkong arah ke selatan. Dari kejauhan rumah berlantai 3 yang dibangun di atas tanah seluas 30 x 40 meter itu, langsung bisa terlihat. Maklum, rumahnya di Bengkong Sadai termasuk yang paling besar dan berdampingan dengan lapangan sepak bola Putra Kelana Jaya.

Saat memasuki rumahnya, Hj Asnah langsung datang menyambut. Tak lama kemudian, sang suami, Saparudin Muda, juga ikut menemani.

Sambil menyeruput secangkir teh manis, Asnah mulai bercerita tentang rencananya ikut bersaing di pemilihan Wali Kota Batam tahun depan. ”Keikutsertaan saya nanti di Pilwako sedikitnya bisa memberi warna dan terobosan baru bagi perempuan,” katanya.

Kenapa demikian? Karena selama ini, setiap pemilihan Wali Kota belum pernah ada yang berani mencalonkan diri dari kalangan perempuan. ”Ini merupakan wujud dan semangat perempuan untuk bisa berbuat yang terbaik, untuk kemajuan Batam ke depan,” jelasnya.

Meski ia kader Partai Amanat Nasional (PAN), namun untuk maju di Pilwako ia lebih fokus lewat ke jalaur independen. Pasalnya, kalau melalui internal partai harus melalui mekanisme penjaringan partai dan diputuskan di tingkat DPP PAN. Apalagi ia menyadari posisinya di PAN.

Makanya, dengan jalur independen ia bersama tim Asnah Centre lebih cepat memperkenalkan diri ke masyarakat. Namun ke depannya, tidak menutup kemungkinan akan dipadukan dengan jalur idependen dan jalur partai. ”Kita lihat saja nanti seperti apa,” jelas Pembina Pengajian Masturah Kota Batam ini.

Untuk itu pula lah, ia bersama tim relawaannya sudah bersosialisasi jauh-jauh hari yang dianggap jauh lebih efektif. ”Karena kita fokus dan tidak main-main di Pilwako ini, maka kita harus selangkah lebih maju dari calon lainnya,” ungkap Anggota Komisi IV bidang Kesejahteraan Rakyat DPRD Kepri ini.

Bukti keseriusannya pun sudah ia lakukan dengan memasang puluhan baliho baik ukuran kecil dan mapun besar di tempat-tempat strategis di Batam ini. Selain baliho, ratusan spanduk dan puluhan ribu kalender sudah dibagikan ke masyarakat Batam.

Di tiap-tiap baliho dan spanduk banyak dijumpai slogan yang berbeda-beda. Di antaranya bertuliskan Berjuang Tiada Henti, Bersama Rakyat Membangung Negeri. ”Inti semua slogan-slogan itu merupakan wujud ajakan agar bersama-sama dengan masyarakat untuk membangun daerah ini,” jelas Wakil Ketua KNPI Kota Batam ini.

Asnah sendiri terjun ke politik baru sekitar dua tahunan, namun terjun langsung ke masyarakat sudah ia jalani sejak 10 tahun lalu lewat majlis taklim dan pengajian lainnya. ”Insya Allah modal 10 tahun turun ke masyarakat sudah menjadi bukti pengabdian kita bersama mereka,” jelasnya.

Alasan yang ia kemukakan itu pun berdasar. Saat Pemilu Legislatif tahun lalu, wanita berjibab ini, memperoleh suara signifikan untuk melenggang ke DPRD Kepri. Suara yang diraup tidak saja dari warga tempatan namun dari semua etnis yang ada di Batam.

”Suara kita waktu itu sekitar 6.000 suara lebih. Padahal kita tahu sendiri ratusan calon yang bersaing, dan alhamdulillah kita bersaing,” ungkapnya.

Dengan asumsi seperti itu, ia yakin tidak ada keraguan lagi untuk bersaing di Pilwako meskipun saingannya nanti semua laki-laki. Di sini ia akan buktikan wujud demokrasi bagi perempuan di Batam.

Sebagai bentuk keseriusannya, pada 5 Agustus nanti timnya akan menggelar pernyataan sikap akbar di lapangan sepak bola Bengkong Laut dengan menghadirkan sekitar 10 ribu simpatisan.

Lalu apa yang akan ditawarkan ke masyarakat? Wanita kelahiran 18 Agustus 1973 ini mengatakan, setidaknya ada beberapa konsep yang sudah disiapkan. Di antaranya, pertama, akan menuntaskan legalitas kampung tua yang hingga kini mengantung, kedua, menyediakan segala fasilitas untuk warga kampung tua seperti ketersedian air bersih, listrik, dan fasilitas lainnya.

Selanjutnya, ketiga, merevitalilasi konsep pembangunan sekolah di Batam, yang sebelumnya berkonsep horizontal ke vertikal. ”Karena setiap tahun Batam kekurangan lahan untuk membangun sekolah, maka sudah saat membangun sekolah dengan bertingkat hingga tingkat 8,” jelasnya.

Kemudian, keempat, memperbanyak beasiswa bagi masyarakat tidak mampu untuk masyarakat tempatan maupun pendatang, kelima, menyediakan fasilitas kesehatan (rumah sakit) khusus warga yang kurang mampu dengan pelayanan yang sama dengan mereka yang berada. Dan keenam, menyalurkan dana bergulir untuk warga kurang mampu.

”Semua konsep yang kami tawarkan ini langsung bersentuhan dengan masyarakat kecil,’’ ungkapnya.
Anak Pulau yang Takut Laut
Ia lahir di Pulau Lanca 18 Agustus 1973. Meski lahir dan besar di pulau namun ia mengaku tidak bisa berenang seperti anak-anak pulau lainnya.

Saat kecil, Asnah ke sekolah harus menyeberang pulau dengan menggunakan sampan. Maklum anak nelayan dengan 9 bersuadara ini, sekolah SD nya di Pulau Akar sedangkan ia tinggal di Pulau Lanca. Setiap hari ia harus berdayung selama satu jam untuk sampai ke tempat sekolahnya di Pulau Akar. ”Jadi praktis setiap hari saya harus berdayung dua jam pulang pergi,” kenangnya.

Tetapi kalau angin dan ombak tidak bersahabat, jarak tempuh kian lama karena sering terbawa ombak. Kalau orang tuanya tidak melaut, kadang-kadang juga diantar ke sekolah, namun kalau orang tuanya melaut terpaksa ia hanya bersama saudaranya.

Diceritakannya, suatu ketika ia bersama tiga saudaranya berangkat ke sekolah, di perjalanan ia karam di laut karena ombak kuat. Waktu itu sampan pakai layar, ketika angin kencan ia bersama tiga saudaranya yang semuanya perempuan tidak bisa mengendalikan lagi akhirnya ia karam dan tertimpa sampan.

”Untuknya pada saat itu ada nelayan yang lewat di jalur itu, mereka langsung menyelamatkan kami. Inilah pengalaman yang paling menakutkan dan sejak itu saya takut sama laut,” ungkapnya.

Selain transportasi ke sekolah dengan menggunakan sampan sebenarnya ada juga alat transportasi lain yakni naik pompong. Tapi kalau naik pompong harus bayar perbulannya, sementara kondisi ekonomi orang tua waktu itu tidak memungkinkan, jadi satu-satunya cara adalah pakai sampan.

Saat sekolah, ia termasuk anak yang pintar. Buktinya, di sekolah SD ia bisa menamatkan pendidikan hanya dengan waktu empat tahun. ”Kelas satu cawu dua saya ikut ujian naik ke kelas dua, kelas 6 semester ketiga saya ikut ujian. Alhamdulillah saya lulus. Jadi saya hanya melewati SD selama empat tahun,” terangnya.

Setelah lulus SD, ia melanjutkan sekolah di MTsN Tanjungpinang. Di sekolah MTsN prestasi ibu Delvi Eka Putri ini tetap terbaik. ”Meski saya dari kampung alhamdulillah saya selalu ranking satu di sekolah,” kenang ibu tiga anak ini.

Setamat di MTsN ia melanjutkan di Madrasah Aliyah Miftahul Ulum Tanjungpinang. Di sekolah setingkat SMA ini, prestasinya kian cemerlang. Bahkan ia pernah menjadi juara umum di sekolahnya. Kemudian, ia melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah di Tanjungpinang, namun tidak sampai selesai.

”Saat sekolah di Tanjungpinang saya merasakan betul menjadi anak perantau. Hanya bisa bersedih dan menangis. Setiap bulan orang hanya bisa kirim uang sekolah Rp15 ribu. Pulang ke kampung hanya libur semester dan hari raya,” kata istri Saparuddin Muda.

Setelah tak sekolah lagi ia kembali ke pulau dan menjalani hidup seperti anak-anak pulau lainnya. Tak betah hanya di rumah saja, ia pun akhirnya menjadi tenaga honorer kantor lurah di kampungnya. Setelah 6 bulan menjadi honorer, ia pun dinikahkan orang tuannya dengan suaminya sekarang. ***

Selanjutnya...