Jumat, 21 November 2008

DPR Bukan Eksekutorial

Firman Jaya Daely, Caleg DPR RI Asal PDI Perjuangan Dapil Kepri

Satu lagi calon anggota DPR RI daerah pemilihan Kepri muncul. Kali ini adalah Firman Jaya Daely, celeg Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pertemuan dengan Firman dihelat ruang tamu kediaman Soerya Respationo, Ketua DPD PDI Perjuangan Kepri yang kini menjabat Ketua DPRD Batam.

Apa yang mendorongnya mencalonkan diri jadi Caleg DPR RI dari Dapil Kepri?
Berikut petikan wawancara yang dirangkum Jamil Qasim belum lama ini.


Saat wawancara berlangsung, Soerya Respationo ikut mendampingi. Pagi tiu, Firman mengenakan pakaian serba hitam, kulitnya bersih, rambut keritingnya teratur rapi, mengingatkan pada wajah Andi F Noya, presenter kondang Kick Andy yang tayang di >Metro TV

.

Firman merupakan mantan anggota DPR RI periode 1999-2004 dapil Sumatera Utara. Namun pada pemilu 2009 ini, ia kembali dipercaya untuk maju sebagai caleg dari dapil Kepri. ”Ketua umum (Magawati Soekarnoputri) memberi mandat pada saya untuk mewakili Kepri di DPR,” tegasnya.
Selanjutnya Batam Pos

pun terlibat perbincangan hangat. Adapun perkenalannya terhadap Kepri dimulai, saat dia gigih merumuskan pemekaran Kepri menjadi provinsi, lepas dari Provinsi Riau. Saat itu dia rasakan memang cukup berat, mengingat banyak penentangan dari beberapa pucuk pimpinan baik eksekutif dan legislatif di Riau.

Karena itulah, nilai historis Kepri terus melekat di benaknya. Dia ingin agar suatu saat Kepri lebih maju lagi. “Posisinya sangat strategis, menjadi gerbang internasional. Selain itu memiliki sumber daya yang besar. Maka itu, daerah ini harus terus dibuka,” ujarnya.
Apa pertimbangan partai sehingga Anda dipilih DPP PDIP jadi caleg dari Dapil Kepri?

Pada dasarnya Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan harus ada yang ditugaskan di Kepri. Karena bagi Ibu Mega Kepri memiliki perhatian khusus. DPP memandang Kepri ini sebagai daerah yang sangat strategis, maka seyogyanya harus ada pengurus DPP yang ditempatkan di daerah ini.
Dari keputusan pusat itu, ternyata saya yang sering berkunjung di daerah Riau termasuk di Kepri. Jadi dengan ditempatkan Kepri jadi perihatian khusus, maka hubungannya jadi tersambung.


Sejauh mana Anda mengetahui tentang Kepri?



Itu relatif ya. Karena tidak ada juga ukuran formal secara matematika. Setidaknya dari awal kami melakukan inisiatif untuk memekarkan Kepri sejak tahun 2000 sewaktu saya di Komisi II DPR RI.

Posisi saya di sini bukan menempatkan diri sebagai pahlawan, tetapi yang pahlawan itu adalah rakyat. Karena kita tidak ada apa-apanya tanpa rakyat. Pada saat itu, ada sejumlah anggota DPRD secara pribadi mendukung sepenuhnya. Namun tidak mendapat restu dari Pemprov Riau yang oleh Gubernur Riau Saleh Djasit waktu itu. Memang, menurut persyaratan di dalam undang-undang seharusnya memang harus ada persetujuan Pemprov yang di awali dengan persetujuan DPRD. Tetapi memang pemerintah nasional di pusat yang memiliki kewenangan untuk membuat UU dalam hal ini presiden dan DPR RI sudah setuju maka semestinya tidak ada persoalan untuk pemekaran. Tetapi memang itu menjadi hambatan awal, karena menyangkut soal anggaran dari daerah provinsi induk untuk pengembangan daerah baru.

***

Sebagai politisi kakap, Firman memag cukup santun. Suaranya pun mengalir lembut. Yang menarik, selama diskusi tak sekalipun Firman memotong apalagi merendahkan lawan bicaranya.

Semua hal yang disampaikan kepadanya, selalu dia simak dengan baik, lalu dijawab dengan baik pula. Kalau ada yang menurutnya janggal, langsung diluruskan. Katanya supaya tak terjadi salah penafsiran.

Hal ini tampak saat ketika ditanya apa program dia saat kelak terpilih menjadi wakil Kepri di DPR. Mendengar kata ”program”, Firman langsung meluruskannya.

”Saya rasa bukan ’program’ karena tugas anggota DPR bukan membuat program. DPR itu hanya berfungsi pengawasan, fungsi anggaran dan fungsi legislasi. Jika nanti ada aspirasi dari bawah tugas merekalah yang menyampaikan ke eksekutif. Untuk itulah DPR harus banyak turun, menyerap aspirasi masyarakat yang diwakilinya,” jelasnya.


Setelah terpilih, apa program dan harapan yang diberikan untuk Kepri?

Begini, di DPR RI itu tidak memiliki dan melaksanakan program seperti eksekutif. Tetapi setidaknya kita ingin mendengar rakyat apa yang menjadi problemnya di Provinsi Kepri yang berbasis pantai dan pulau-pulau kecil ini. Kemudian kita tahu persis bahwa wilayah Kepri memiliki industri perdagangan, perikanan dan kelautan. Itu semua harus berefek pada dua hal yaitu pengembangan dan pembangunan Kepri yang berbasis pada kabupaten dan kota. Selain membangun daerah juga harus membangun ekonomi rakyat pedesaan yang berbasis kesejahteraan rakyat.

Dari mana kita peroleh itu? Tentu dari elemen terkait. Mulai dari Pemko/Pemkab hingga jajaran di bawah, LSM, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, media cetak dan elektronik dan simpul lainnya. Dari elemen inilah yang harus kita dengar. Dari yang kita dengar ini baru kita artikulasi dan kita perjuangan di tingkat pusat. Artinya, komunikasi seperti itu yang harus terus dibangun. Dan saya punya pengalaman duduk di legislatif sejak 1999. Jadi komunikasi yang dibangun itu bukan hanya pada saat masa reses saja, namun pertemuan-pertemuan non formal dengan berbagai elemen tetap harus dilakukan sehingga mengetahui betul hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Dari situ kita bisa jabarkan.

Jadi yang pertama yang harus dibangun adalah komunikasi dan koordinasi. Jadi kalau komunikasi dan koordinasi sudah dibangun maka akan memudahkan untuk mencapai sasaran yang akan kita lakukan. Tapi perlu diketahui bersama bahwa DPR itu bukan berfungsi sebagai eksekutorial. Tetapi DPR RI berfungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.

***

Firman memang orang lapangan. Turun lapangan sudah menjadi lalapannya sejak dulu. Tak heran, saat baru sampai di Batam saja, Firman sudah tak sabar mengunjungi masyarakat pulau, di samping program lainnya dengan mengunjungi beberapa kantor media cetak dan elektronik.


Bagaimana peran anda untuk menggesa penghapusan PP 63 tahun 2003 di Batam?



Kalau masalah itu tentu harus ada konsolidasi yang utuh dan penuh dari masyarakat dan pemerintah setempat. Dan itu nantinya dikonsulidasikan dengan teman-teman di DPR RI. Kita harus gotong royong bersama masyarakat dan elemen lain, bahwa keinginan masyarakat seperti ini. Ini kan sebenarnya bisa dikomunikasi dengan pemerintah pusat. Pemerintah pusat harus menyesuaikan diri dengan upaya kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat. Jadi di sini yang harus dikedepankan adalah kepentingan rakyat, pemerintah itu kan pelayan rakyat. Karena kalau tidak ada sanksi politik. Keputusan politik dan ekonomi tetap harus bersinggungan dan memperkuat rakyat.***
<@JUD 1 Kol:>Dari Kecil Dampingi Percakapan Ayah
<@Body Text --- 9.8new:>Firma

Jaya Daely lahir di Nias, 14 Desember 1968. Firman kecil hidup di lingkungan keluarga yang sudah mapan. Orang tuannya termasuk orang terpandang di kampungnya.
Yang paling diingat saat kecilnya dulu adalah ketika ada tamu yang ada ke rumahnya baik dalam rangka diskusi atau hanya sekadar berkunjung biasa ia selalu mendengar percakapan orang tuanya. ‘’Saat SD saya paling sering mendampingi ayah dan mendengarkan percakapan mereka,’’ ungkapnya.
Sejak duduk di SMP termasuk anak yang pintar di sekolah. Ia selalu mendapatkan juara kelas di sekolah. Selain pintar, di sekolahnya ia juga aktif di organisasi. Bahkan sejak SMP hingga SMA ia pernah menjadi Ketua OSIS. Saat duduk di sekolah SMP ia sudah mulai membaca bermacam-macam jenis buku.
”Di SMP saya sudah membaca buku Pergolakan Pemikiran Islam

yang ditulis Ahmad Wahid dan >Catatan Seorang Demostran

yang ditulis Soe Hok Gie,’’ katanya.
Menurutnya, kedua penulis itu berteman baik, Soe Hok Gie kuliah di Universitas Indonesia dan Ahmad Wahid kuliah di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, dan keduanya pun meninggal di usia muda.
Mula perkenalannya di dunia politik pun bukanlah dimulai dari balik meja. Saat di SMA, ia juga mulai banyak membaca buku-buku Bung Karno. Di PDIP sendiri, Firman memulai karirnya di Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), sebuah lembaga pemikir dan peneliti di bawah komando Kwik Kian Gie.
Hingga akhirnya, Firman terpilih menjadi anggota DPR termuda dari PDIP. Pada saat itu usia baru 31 tahun. Sedangkan rekan-rekannya di Balitbang banyak yang diangkat menjadi menteri di era Megawati.
Beranjak dari latar belakang itulah, kinerja Firman selalu terencana dengan baik, bukan latah, siang dibuat, malam dirombak. Firman tak hanya paham teori, namun juga realitas lapangan dengan apa yang dia sebut data empiris. 0>
Untuk mendukung kinerjanya itu, Firman banyak melalap buku bacaan. “Sejak kecil saya memang suka baca,” ujarnya. Makanya, hingga saat ini koleksi buku bacaan Firman memenuhi ruang kerja bahkan hingga ke kamar tidurnya.
”Di ranjang saya juga ada buku-buku bacaan,” jelasnya.
Lalu, buku bacaan apa yang menjadi kesukaan Firman? “Tentu, saya suka buku (yang mengupas soal ilmu) hukum, politik dan sosial, sesuai bidang yang saya geluti saat ini,” jelasnya.
Saking cintanya membaca buku, ia selalu meluangkan waktu 6 jam sehari hanya untuk membaca buku. ‘’Tapi membacanya bukan langsung selama enam jam tanpa istrahat,’’ jelasnya.
Firman juga suka membaca buku biografi. Namun buku itu dipakai bukan untuk mencontoh sosoknya, melainkan untuk memahami pemikirannya saja.0>
Setelah usai membaca buku, selanjutnya Firman melakukan observasi lapangan. Dengan demikian, dia tak terjebak dengan hal-hal yang ada di buku, yang bisa jadi kondisinya sudah berbeda dengan saat ini.
Yang menarik dari perbincangan ini, ternyata Firman agak kagok saat difoto. Hal ini terjadi ketika kami memotretnya di sela-sela diskusi, alur bicara Firman langsung terhenti. Dia langsung terdiam, lalu mengulang lagi pebicaraan dari awal.
Sisi lainnya, Firman ternyata penyuka warna hitam, mirip Permadi, politisi senior dari PDIP juga. Terbukti, saat pertemuan itu Firman memakai kemeja hitam dan celana kain warna senada. Tak hanya itu, Firman juga memiliki koleksi jaket hitam juga. ”Koleksi pakaian hitam saya memang banyak,” akunya.0>
Kenapa suka hitam? “Ya, simple saja,” jawabnya. (jaq)

Tidak ada komentar: